Senja Merah


Tepatnya sebuah pertigaan, sebuah gerbang kecil menyambungkan jalan dengan rumah bertembok melingkar. Terlihat bata merah tertata rapi menyusun tembok layaknya seperti gerbang istana. Tanaman bunga yang mulai mengering ada disekeliling halaman rumah, menyisakan setapak jalan kecil berdebu. Langit sore mulai memerah, dan angin berhembus sedikit hangat. Pintu kayu terlihat besar dan usang, namun tetap kokoh dan sedikit terbuka. Rumah - rumah terlihat saling berdekatan, hanya dipisahkan jalan setapak kecil.

Dari kejauhan pun aku bisa melihatnya, dia berdiri didepan rumah, sendirian dan sedang menunggu sesuatu. Masih dengan wajahnya yang manis, namun terlihat sedih. Sesaat dia menoleh kearahku, bibirnya mencoba untuk terseyum, namun sorot matanya tak mampu menyembuyikan beban yang dia tanggung.  Dibalut gaun putih memanjang dan rambut terurai, begitu cantik tanpa make up. Aku berdiri dibelakangnya, agak jauh mungkin 3 meter, sama - sama memandang langit yang semakin merah dengan angin yang tak kunjung lelah untuk berhembus.

"Sore yang cantik", aku mencoba mengaburkan keheningan diantara angin yang semakin dingin. Dia tetap memandang langit, dengan senyum kecil yang dipaksakan, tetap hening berdiri ditengah terpaan lembut angin yang semakin membuatnya terlihat cantik. Beberapa anak kecil terlihat ceria bersepeda di jalan kecil samping rumah, mengabaikan keheningan kami.

"Jadi, akhirnya seperti ini", kalimat yang dia katakan setelah menghela nafas panjang, sambil menundukkan wajah. Dia menatapku sebentar dengan padangan sorot mata yang penuh dengan rasa bersalah lalu kembali menatap langit. Aku tidak tau apa yang ada dipikirannya, yang pasti tidak seharusnya dia merasa bersalah.

"Ya", jawabku singkat. Langit mulai gelap, seakan menuntunku untuk segera pulang dan menyembunyikan wajahku yang begitu pucat. Aku berjalan melewatinya tanpa sepatah kata, hanya senyuman kecil ketika kami saling bertatap. AKu meraih stang sepeda tua punya ibuku, ingin segera kukayuh cepat - cepat tanpa harus menoleh. Didepanku beriringan anak kecil yang tadi bermain sepeda, pulang menuju rumah mereka. Mungkin seharusnya aku tidak menoleh ke belakang, namun aku hanya ingin melihatnya sekali lagi, masih menatap langit dan tak bergeming, lalu sejenak menatapku. Sorotan mata nanar dan senyum berat dibibirnya hampir membuatku lupa, hari ini adalah hari pertunangan dia dengan kekasihnya. Mungkin, aku harus segara pulang.

0 comments:

Copyright © / Candra Aditama

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger