Supernatural : Kesaksian


Dulu rumahku dibangun diatas kebun yang rimbun dipenuhi pohon - pohon tinggi, diseberang jalan setapak, dengan suasana cenderung gelap dan lembab. Ada sebuah sumur ditengah kebun tersebut, sumur tua yang tidak diketahui siapa pembuatnya. Sewaktu dikuras untuk bisa digunakan, banyak sisa tulang belulang hewan, mulai dari tulang kucing sampai beberapa tulang dengan ukuran cukup besar kemungkinan tulang kambing. Tidak pernah diketahui pula bagaimana dan kapan hewan tersebut tenggelam, atau mungkin dibuang di sumur tersebut.

Disebelah barat pekarangan ada sebuah lubang saluran air yang ditumbuhi pohon besar dan lelumutan di sekelilingnya. Ular bukan hewan yang asing, setiap menjelang maghrib tercium aroma seperti singkong bakar. Aroma tersebut biasanya muncul jika didaerah tersebut ada ular weling, ular jawa yang cukup berbahaya. Ular ini berwarna belang  - belang putih atau orange. Ular ini biasanya muncul sore hari atau malam dengan jumlah yang tidak menentu, kadang hanya muncul satu, namun terkadang muncul sampai lima ular sekaligus atau bahkan lebih dengan ukuran yang bervariasi. Awalnya aku takut dengan banyaknya ular disaluran air ini, namun anehnya tidak ada satupun ular ini yang pernah masuk ke rumah, padahal jarak rumah hanya sekitar 5 meter dari saluran air. Pernah suatu ketika ada ular yang masuk ke rumah dan bertenger di atap, namun jenis ular lain yang tidak terlalu berbahaya. Beberapa tahun berlalu aku mulai akrab dengan pemandangan ular disekitar saluran air, walaupun kadang kaget jika ular muncul tiba - tiba.



Di sebelah selatan ada pohon randu dan bambu besar. Aku masih ingat ketika tetangga meninggal, ada beberapa burung gagak yang terus berputar - putar mengelilingi pohon randu. Sesekali hinggap kemudian berkicau dengan kicauan khas serak dan tak begitu nyaman didengar. Ular juga tidak asing disini. Dimusim hujan, biasanya air menggenang, terkadang ada beberapa ikan yang memutuskan untuk tinggal digenangan.

Rumah kami awalnya dibangun cukup kecil, separuh dari ukuran saat ini, beberapa bahkan hanya berdinding bambu, dengan dikelilingi kebun kosong. Aku mengingat suasana diwaktu itu terasa sepi, udara lembab dan gelap, jauh berbeda dengan sekarang. Malam hari cenderung redup karena hanya diterangi lampu 5 watt, itupun hanya beberapa ruangan saja. Ada beberapa ruangan yang bahkan tidak ada lampu sama sekali. Instalasi kelistrikan dirumah terbilang kacau. Orang jaman dulu biasanya rumah jadi dulu, listrik belakangan.

Hubungan kami dengan tetangga sangat akrab, kakakku cukup aktif dikegiatan sosial. Kebetulan kami memiliki televisi cukup besar, beli second kondisi rusak dengan harga murah atas rekomendasi Paklek yang tau tentang elektronika, dan ternyata bisa diperbaiki. Terpasang diruang tamu yang cukup luas, di seberang ruangan gelap yang tidak ada lampu sama sekali. Televisi dikampungku cukup jarang waktu itu, hanya beberapa saja dan tidak semua mengijinkan orang lain ikut nonton. Banyak tetangga yang mampir nonton bola, kemudian beberapa memutuskan untuk menginap di ruang tamu. Banyak tetangga yang menginap rame - rame, terutama ketika piala dunia. Mereka biasa membawa makanan atau dari rumah masing - masing dan suasana cukup meriah saat itu.

Namun, satu persatu mulai tidak mau menginap lagi. Sampai akhirnya kemudian tidak ada yang menginap sama sekali. Biasanya hanya mampir saat pertandingan sedang berlangsung, selanjutnya mereka pulang, padahal kami sekeluarga sama - sekali tidak keberatan, justru malah terbantu karena kami ikut menikmati makanan yang mereka bawa, dan suasana jadi rame. Ketika kami tanya, mereka hanya menjawab ada acara, atau merasa tidak enak dengan keluarga kami, padahal sudah kami jelaskan bahwa kami keberatan jika mereka menginap.

Sampai suatu ketika aku bertanya pada seorang tetangga sebut saja Lek Untung, dimana biasanya aku panggil paklek, sebutan untuk paman dalam bahasa jawa.

“Lek, mampir dulu, ada teh panas ini, biar anget”, aku manggil Lek untung yang kebetulan lewat depan rumah. Aku dan keluarga biasa lesehan diteras depan rumah, dan biasanya Lek Untung mampir hampir setiap hari untuk sekedar ngobrol di malam hari.

“Lek koq sekarang ga pernah nginep lagi ?” aku mencoba bertanya ketika Lek Untung mulai duduk bersila dan menyeduh segelas teh.

“Ada acara” Lek Untung menjawab sekenanya.

“Ah yang bener, orang Lek Min bilang Lek Untung sering nginep dirumahnya kok”. Lek Min rumahnya seberang selatan rumahku. Lek Untung juga biasa nginap disana. Lek Untung ini memang unik, biasa nginep ditetangga dekat karena menurutnya rumahnya terlalu penuh dengan beberapa keluarga disatu atap.


“Kalau aku ceritain, kamu juga ga bakal percaya” sela Lek Untung.

“Emang kenapa Paklek ?” aku dan kakaku mulai penasaran.

“Jadi gini, waktu itu malem jum’at kalau ga salah", Lek Untung mulai membuka cerita.
Beliau bercerita bahwa saat itu, lek Untung nginep di rumahku, tidur di lantai ruang tamu sendirian. Waktu itu hanya Lek Untung saja, menginap sendirian, sedangkan yang lainnya memilih untuk pulang. Lampu ruang tamu hampir setiap hari dimatikan sewaktu malam. Lek untung mengatakan bahwa waktu sekitar jam 2-an malam, ada suara seperti sesuatu diseret di lantai. Suara tadi berasal dari ruangan seberang yang mana gelap tidak ada lampu penerangan. Kondisi ruang tamu dan ruang seberang sama - sama gelap, hanya sedikit cahaya lampu dari jalan yang masuk ke ruang tamu. Awalnya suaranya terdengar jauh, tapi kemudian terasa seperti mendekat. Menurut Lek Untung, suaranya cukup aneh, bukan langkah kaki yang atau benda diseret, tapi seperti tubuh yang direset. Persis seperti kulit nempel lantai kemudian diseret, bunyi ‘skiiit’, Lek Untung menggeser - geser kakinya di lantai untuk menggambarkan apa yang beliau ceritakan.

Dengan suara seretan yang semakin jelas, Lek Untung bangun kemudian duduk, lalu mengamati pintu ruang kosong yang setengah terbuka. Beberapa saat disertai dengan decitan yang semain keras, muncul jari jemari dari balik pintu.

"Aku pikir waktu itu kalian ini iseng", tuduh lek Untung pada kami.

Lek Untung tetap terduduk dan memperhatikan jari - jemari yang mulai bergerak menampakkan telapak tangan, kemudian bergeser sampai pergelangan tangan, dibantu dengan sedikit cahaya lampu dari penerangan jalan.

Awalnya tidak ada yang aneh, namun setelah bergeser satu jengkal kemudian, Lek Untung memilih untuk segera beranjak meninggalkan ruang tamu, dan keluar ke teras rumah. Pasalnya, apa yang muncul dari balik pintu hampir membuat Lek Untung muntah, sebuah potongan tangan sebatas siku.



Tangan tadi bergerak dengan memakai jari - jemari bergeser sedikit demi sedikit. Melewati ruang tamu, bergerak menuju ruang tengah, lalu lenyap entah kemana.

Lek Untung memilih untuk menghabiskan malam dengan duduk di sudut teras yang mendapat cukup penerangan dari lampu jalan sampai subuh menjelang. Lek Untung sebenarnya ingin segera pergi dari suasana yang membuat beliau tidak nyaman, namun beliau tidak ingin meninggalkan pintu dalam keadaan tidak terkunci, atau menganggu tidur kami.

Keluarga kami biasa bangun subuh, setelah subuh kami mendapati Lek Untung di sudut teras berbalut sarung. Dan segera pamit ketika melihat kami sudah terbangun.

Kami sekeluarga hanya bisa melongo mendengar cerita lek Untung. Setelah beberapa hari berlalu, saya juga bertanya ke tetangga lain, dan ternyata beberapa dari mereka juga mengalami hal yang sama. Apa yang mereka saksikan bisa berbeda, ada yang berupa potongan tangan, kaki, atau bahkan kepala.

Hal yang sama ternyata juga dialami teman sekelas yang menginap ketika belajar bersama. Ketika kami tidur bersama (tiga orang) di ruang tamu, salah satu teman kami terbangun dan melihat kepala yang mengintip dari pintu ruang kosong. Temanku tadi tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, hanya bayangan siluet kepala yang muncul dan sembunyi, seperti orang yang mengintip namun takut ketahuan. Temanku berpikir munkin hanya aku iseng atau temanku satunya. Namun ketika menoleh ke samping, aku dan temanku tertidur pulas. Dengan keringat dingin bercucuran, temanku memutuskan sembunyi dibalik selimut, dan memilih posisi tidur ditengah.

Someone New


When I was young, I did a lot more seeing than speaking. I’m still the same way today. I was considered a dream child, so quiet, so calm, maybe such a good student. I learned that it was easier to be a wallflower. To get good grades, rather than be screamed at. I learned that if I was as close to perfect as I could be, my life would be as easy as the circumstances would allow. And to give myself an extra boost, I practiced observing others. I saw which people would be most beneficial to befriend, students who could help me in the subjects I lacked in. I saw who was trouble, who was crazy, and who was something I could only wish to be: Average. 

By the time I hit high school, my talent was second nature. Reflex. A little time around someone, and I could know all I needed to. The information flooded my brain, like water through well-drained soil. It was how I lived. It was how I saw the world. 

It was how I recognized her.

She sat a few rows across from me in homeroom, mostly keeping to herself. I watched her for seven minutes a day, over the course of a week. I spent half an hour getting to know her, noting how she wore her hair long and down see-through from her hijab. I measured her small frame with my eyes, finding inconsistencies. I saw how she rested with her elbow on the desk and her hand covering her mouth, keeping it shut.

On a certain morning, she stood up when I sat down. I tugged at my backpack . She went over to me. She looked up at me with big brown eyes. I swallowed.

“Can you help me with this stuff?” She asked. I blinked. “O..o...of course",  I stammered and did not know what to say, looking at her eyes that are beautifully hypnotizing. Couple second build courage, I said "You can sit by my side if you want, so we can learn together". She blinked her eyes, slow and thoughtful, as innocent as a young doe. She moved her hand away from her mouth. “Okay.”

And that was it. I never said what I knew outright. I thought she never admitted anything. I passed off the mouse and keyboard, and let her try some stuff on my computer. I told her the plots of popular app, and for a couple times a week, we would stay after school and break into the computer lab to try them. Just because she was quiet didn’t mean she wasn’t funny. Just because she was troubled didn’t mean she couldn’t have a good time. She was a little like me: Using what she could, to make her life as good as circumstances would allow.

I was an observant child. The dream never went anywhere, but it was fun to talk about. My mother walked in and caught me smiling at the kitchen sink. She grinned in response, walking over to me. The wind beat overhead, the water flow sending a gentle hum through the house. She looked me over, already decked out in summer fashion, and exhaled softly. “You’re growing up so fast, sweetie,” she said quietly.

It was really good memories when we spent afterschool at the computer lab. Many people think if you like somebody you have to tell them. But I'm afraid I will regret stepping up. I should tell her how I really feel, but I'm afraid of what she might say. Admiration is the daughter of ignorance. My breathing hitched in my chest as I see her from far away. I prayed to God to make us getting closer, every night.

The air slowly growing heavy and humid, I thought I could predict the future. I thought I saw she standing in the garden with me, laughing and happy.

But she had gotten too beautiful. Too lovely. Too bright. She had become something a shadow couldn’t stop himself from devouring.

Better man kept approach her, leaving me behind. Torn apart every single memories we had.  I'll be honest, it's breaking my heart, she going down a path I cannot follow.  Now she's too far for my reach, I see my picture vanishing from her lovely brown eyes, look at me like a stranger.

I'm trying to let it go, find someone else. It didn’t quell the desire to live, though. A fire burst within me, give me courage to ask some girl out. Trying to get closer with some one new. This girl glanced shyly, so am I. I can see her awkward smile, and we spent out time with awkward conversation. She's kind of great girl, independent, outgoing, and cute actually. We often texting each other, asking how's the day and standard conversation.

I was born to be caught. The sky isn't always blue, the sun doesn't always shine. Our relationship is kind of good and I wanna be fall in love with her, but I can't. How the hell it's possible, Am I cursed to not find other love ?. This just doesn't work and I end up hurting her. It was just false hope, affectation, we all suffer from dreams. False hope is a terrible thing, if its the only thing keeping you alive you'll be dead by dawn.

Fortunately, these awkward symptoms do not persist for too long. She find some one else who will be her side with the love from deepest heart. He actually better than me, on every aspect maybe.

I wonder how other people changing relationship so easily and quickly. Yet, I'm barely move a single step. And old dream become nightmare, It even hurts to remember. Loneliness is not stranger for me, I used to it, maybe kind of my best friend, and I never feel sad for it. Sometime it feel great when it's just you and the sky, maybe some wind. That's just enough for me.

Even in the dream I cannot touch my first love. Sometimes, I wake up and hoping there's word from her on my phone, but I found only cold air, blowing forward to kiss me on the lips, vanishing at the sound of sirens.


Credit writing style Strawberry-Sunrise
His/her writing style is so beautiful.

Copyright © / Candra Aditama

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger